Kementan Perkuat Pendidikan Vokasi untuk Hadirkan Petani Milenial*

By Admin


nusakini.com - Jakarta – Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), menilai pentingnya pendidikan vokasi pertanian untuk menghadirkan banyak petani milenial sekaligus regenerasi petani untuk pertanian Indonesia semakin maju mandiri dan modern.

Hal tersebut disampaikan dalam Webinar Penguatan Proses Pembelajaran Pendidikan Vokasi pada Kamis (16/07). Kegiatan ini menghadirkan Ketua KTNA Pusat Winarno Tohir, dan Anggota Komisi IV DPR RI Mindo Sianipar, serta Kepala BPPSDMP Kementan Dedi Nursyamsi.

Menurut Kepala BPPSDMP, Dedi Nursyamsi, jumlah petani Indonesia saat ini sekitar 33 juta. Dari jumlah itu, hanya sekitar 29% petani yang usianya kurang dari 40 tahun atau disebut sebagai petani milenial. 

“Sekitar lebih dari 70% dari jumlah petani kita masuk kategori kolotnial yaitu umurnya diatas 40 tahun. Diperkirakan 5 hingga 10 tahun mendatang, banyak petani kita yang bisa disebut masuk pada fase tidak produktif atau berusia di atas 55 tahun. Makanya regenerasi mutlak dilakukan mulai saat ini juga,” katanya.

Ditambahkannya, berdasarkan tingkat pendidikan, 74% petani Indonesia merupakan lulusan SD, tidak SD, bahkan tidak sekolah. 

“Sangat sedikit sekali yang lulus SMP, apalagi SMA dan perguruan tinggi. Sedangkan untuk pembangunan pertanian perlu didukung SDM pertanian yang maju mandiri dan modern, tentunya ini bisa didspatkan dadi bangku pendidikan vokasi", terangnya.

Oleh karena itu, Dedi menilai pengembangan pendidikan vokasi menjadi kunci. Sebab lewat pendidikan vokasi ini bisa banyak lahir petani milenial. 

Dijelaskan oleh Dedi, faktor pengungkit produktivitas adalah inovasi teknologi dan sarana prasarana pertanian, serta kebijakan peraturan perundangan termasuk local wisdom, yang masing-masing kontribusinya sekitar 25%. Sedangkan yang paling besar adalah SDM yang kontribusinya mencapai 50% dalam produktivitas.

“Pembangunan pertanian belum cukup kalau hanya bicara inovasi, sarana dan prasarana, termasuk kebijakan peraturan perundangan. Yang utama adalah bagaimana kita meningkatkan SDM, sehingga mampu mengimplementasikan inovasi, sarana dan prasarana dengan baik dan benar, serta mampu mengusulkan kebijakan peraturan perundangan yang mendukung pertanian,” jelasnya.

Dedi mengatakan, output dari pendidikan vokasi adalah qualified job creator dan job seeker. Qualified job creator artinya petani yang mandiri, bahkan mampu membuka peluang kerja buat rekan-rekannya. Petani ini yang paling diharapkan dari pendidikan vokasi. 

“Sementara qualified job seeker adalah petani milenial yang terampil dan menguasai pekerjaannya yang bisa ditempatkan diseluruh sektor dunia usaha dan industri pertanian,” terangnya.

Dedi mengatakan, petani milenial produk vokasi harus mampu masuk dunia usaha dan industri. Makanya, sistem vokasi harus selaras dengan dunia usaha dan industri, termasuk dalam kurikulum, proses belajar mengajar. 

“Vokasi harus mengetahui apa yang dibutuhkan dunia usaha dan industri. Dalam pendidikan vokasi 30% di kelas, 70% di teaching factory dan magang di dunia industri. Mereka melakukan praktek langsung di lapangan. Harus mengenal baik dunia industri dan usaha sebelum terjun ke dunia itu,” katanya.

Anggota Komisi IV DPR RI Mindo Sianipar memperkuat pernyataan Kepala BPPSDMP Kementan.

“Pertanian kita sangat tergantung kemajuannya dari lulusan vokasi, seperti Polbangtan. Saat ini petani Indonesia didominasi petani yang latar belakangnya lulusan SD atau bahkan tidak sekolah, Makanya dibutuhkan sarjana di tengah-tengah mereka,” katanya.

Menurutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan petani dibutuhkan teknologi, perawatan dan lainnya. 

“Dan untuk mengolah hal itu, dibutuhkan SDM yang berkualitas. Dan harus ada wadah tempat mereka bertemu untuk konsolidasi untuk tujuan bersama, baik konsolidasi petani maupun lahan,” tambahnya.

Sementara Ketua KTNA Pusat Winarno Tohir mengatakan salah satu kelemahan petani di Tanah Air adalah lemah dalam mengamati.

“Model pelatihan pertanian di Jepang sangat baik, dari kurikulum teknologi, dosen dan lainnya. Di Jepang petani selalu mengamat. Petani kita sangat jarang sekali mengamat, bahkan cenderung males,” katanya. (Cha)